Thursday 23 January 2020

Good Corporate Governance

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Sekarang ini, dunia usaha semakin berkembang dan membutuhkan pengelolaan yang semakin baik dan sehat. Etika bisnis tidak disangkal lagi memiliki peran yang sangat besar dalam hal tersebut. Menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat mewujudkan iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan merupakan salah satu sumbangsih besar yang dapat diberikan oleh dunia usaha untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan mampu memberikan manfaat yang besar bagi seluruh stakeholder-nya.
Saat ini seringkali muncul pertanyaan apakah etika bisnis merupakan suatu hal yang penting bagi perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Etika bisnis dianggap sebagai suatu hal yang merepotkan yang seandainya tidak diindahkan pun suatu bisnis tetap dapat berjalan dengan baik dan memberikan keuntungan.
Berangkat dari hal itu, peran etika sangat besar dalam melakukan kegiatan bisnis, maka sudah selayaknya perusahaan menerapkan suatu prinsip Good Corporate Governance yang dapat digunakan sebagai salah satu alatnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian tentang GGC (Good Corporate Govarnance) ?
2. Apa Prinsip-prinsip GGC ?
3. Apa Peranan etika bisnis dalam penerapan GCG ?
4. Bagaimana Kerangka kerja pengambilan keputusan etis ?
5. Bagaimana Pendekatan filosofi pengambilan keputusan etis ?
6. Apa Aturan praktis untuk pengambilan keputusan etis ?
7. Apa Kepentingan dasar para pemangku kepentingan ?
8. Bagaimana Analisis dampak pengaku kepentingan ?
9. Bagaimana Langkah-langkah menuju sebuah keputusan etis ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian tentang GGC (Good Corporate Govarnance) ?
2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip GGC ?
3. Untuk mengetahui peranan etika bisnis dalam penerapan GCG ?
4. Untuk mengetahui kerangka kerja pengambilan keputusan etis ?
5. Untuk mengetahui pendekatan filosofi pengambilan keputusan etis ?
6. Untuk mengetahui aturan praktis untuk pengambilan keputusan etis ?
7. Untuk mengetahui kepentingan dasar para pemangku kepentingan ?
8. Untuk mengetahui analisis dampak pengaku kepentingan ?
9. Untuk mengetahui langkah-langkah menuju sebuah keputusan etis ?














BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Good Corporate Governance (GCG)
Good Corporate Governance pada dasarnya merupakan suatu sistem (input, proses, output) dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang kepentingan (stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan.
Berikut pengerti GCG menurut beberapa pakar sebagai berikut :
Ø Menurut Cadbury Commitee of United Kingdom (1922) :” Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan”.
Ø Muh. Effendi (2009) dalam bukunya The Power of Good Corporate Governance, pengertian GCG adalah suatu sistem pengendalian internal perusahaan yang memiliki tujuan utama mengelola risiko yang signifikan guna memenuhi tujuan bisnisnya melalui pengamanan aset perusahaan dan meningkatkan nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang.
Ø Soekrisno Agoes (2006), Tata Kelola Perusahaan yang baik adalah : Sistem yang mengatur hubungan peran Dewan Komisaris, peran Direksi, pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya. Disebut juga sebagai suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaiannya dan penilaian kinerjanya.
Ø  Wahyudi Prakarsa (dalam Sukrisno Agoes, 2006) menjelaskan tatakelola perusahaan yang baik adalah “Mekanisme administratif yang mengatur hubungan-hubungan antara manajemen perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham, dan kelompok-kelompok kepentingan yang lain. Dimana hubungan ini dimanifestasikan dalam bentuk aturan permainan dan sistem insentif sebagai kerangka kerja yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan, cara pencapaian tujuan serta pemantauan kinerja yang dihasilkan”.
            Dari pendapat pakar diatas dapat dikatakan bahwa good corporate governance (GCG) adalah seperangkat peraturan yang mengatur, mengelola dan mengawasi hubungan antara para pengelola perusahaan dengan stakeholders disuatu perusahaan untuk meningkatkan nilai perusahaan. Perusahaan yang melakukan peningkatan pada kualitas GCG menunjukan peningkatan penilaian pasar, sedangkan perusahaan yang mengalami penurunan kualitas GCG, cenderung menunjukan penurunan pada penilaian pasar (Cheung, 2011).
B. Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance
1. Transparency (keterbukaan informasi)
Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi. Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholders-nya.
2. Accountability (akuntabilitas)
Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban elemen perusahaan.  Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi.
3. Responsibility (pertanggung jawaban)
Bentuk pertanggung jawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya, masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggung jawab kepada shareholder juga kepada stakeholders-lainnya.
4. Indepandency (kemandirian)
Intinya, prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.

5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran)
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Diharapkan fairness dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.
C. Peranan Etika Bisnis dalam Penerapan GCG
1. Nilai Etika Perusahaan (Company Ethics Value)
Kepatuhan pada kode etik ini merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan dan memajukan reputasi perusahaan sebagai karyawan dan para pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab, dimana pada akhirnya akan memaksimalkan nilai pemegang saham. Beberapa nilai-nilai etika perusahaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, yaitu kejujuran, tanggung jawab, saling percaya, keterbukaan dan kerja sama. Sebagai contoh yang sering kita ketahui yaitu kode etik yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan, antara lain masalah informasi rahasia dan bentuan kepentingan.
1. Code of Corporate and Business Conduct
merupakan implementasi salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG). Kode etik tersebut menuntut karyawan & pimpinan perusahaan untuk melakukan prakter-praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dialakukan atas nama peusahaan. Dengan tujuan agar prinsip etika bisnis menjadi budaya perusahaan (corporate culture), maka seluruh karyawan dan para pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi “mana yang boleh” dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam aktivitas bisnis perusahaan. Pelanggaran atas kode etik merupakan hal yang serius, bahkan dapat termasuk kategori pelanggaran hukum.
Contoh :
Di Indonesia dengan Topik : The Challenges of Legal Profession in The Corrupt Society (Gayus Lumbuun, 2008), yang memaparkan
(1) penegakan hukum pembrantas korupsi,
(2) substansi/norma hukum kebijakan pemberantas KKN,
(3) kelembagaan/ struktur hukum pemberantas KKN,
(4) budaya hukum (legal culture dalam kebijakan pemberantas KKN).

D. Kerangka Kerja Pengambilan Keputusan Etis
Sebagai respon terhadap keputusan yang dapat dipertahankan secara etis, kerangka ini menyertakan persyaratan tradisional untuk profitabilitas dan legalitas. Serta persyaratan yang dapat ditampilkan filosofis secara penting dan baru-baru ini dituntut oleh pemangku kepentingan. Hal ini dirancang untuk meningkatkan pertimbangan etis dengan menyediakan :
a. Pengetahuan dalam identifikasi dan menganalisis isu-isu penting yang harus dipertimbangkan dan pertanyaan atau tantangan yang harus diungkap,
b. Pendekatan untuk menggabungkan dan menerapkan keputusan faktor yang relevan ke dalam tindakan praktis.
Kerangka kerja pengambilan keputusan etis (EDM) menilai etiskalitas keputusan atau tindakan yang dibuat dengan melihat :
a.    konsekuensi atau diciptakan offness baik dalam hal manfaat atau biaya,
b.    hak dan kewajiban yang terkena dampak,
c.    keadilan yang terlibat,
d.   motivasi atau kebajikan yang diharapkan.

E. Pendekatan Filosofi Pengambilan Keputusan Etis
1. Konsekuensialisme, Utilitarianisme, atau Teleologi
Pelaku Konsekuensialisme sungguh-sungguh dalam memaksimalkan manfaat yang dihasilkan oleh keputusan.Paham ini berpegang pada prinsip bahwa suatu tindakan itu benar secara moral jika dan hanya jika tindakan itu memaksimalkan manfaat bersih. Dengan kata lain, suatu tindakan dan juga keputusan disebut etis jika konsekuensi yang menguntungkan lebih besar daripada konsekuensi yang merugikan. Utilitarianisme klasik berkaitan dengan utilitas keseluruhan, mencakup keseluruhan varian, oleh karena itu hanya dari manfaat parsial dalam pengambilan keputusan etis dalam konteks bisnis, profesional dan organisasi. Konsekuensialisme dan utilitarianisme berfokus pada hasil atau akhir dari tindakan, maka disebut juga teleological.
Menurut AACSB Pendekatan konsekuensialisme mengharuskan untuk menganalisis keputusan dalam hal kerugian dan manfaatnya bagi pemangku kepentingan dan untuk mencapai sebuah keputusan yang menghasilkan kebaikan dalam jumlah besar. Konsekuensialisme berpendapat bahawa sebuah perbuatan benar secara moral jika dan hanya jika tindakan tersebut mampu memaksimalkan kebaikan bersih. Dengan kata lain, tindakan dan sebuah keputusan akan menjadi etis jika konsekuensi positif lebih besar daripada konsekunsi negatifnya.
2. Deontologi
Berbeda dengan konsekuensialisme, deontologi berfokus pada kewajiban dan tanggung jawab yang memotivasi suatu keputusan atau tindakan dan bukan pada konsekuensi dari tindakan. Tindakan yang didasarkan pada pertimbangan kewajiban, hak, dan keadilan sangat penting bagi professional, direktur, dan eksekutif yang diharapkan memenuhi kewajibannya. Menambah konsekuensialisme dengan analisis deontologi secara khusus termasuk perlakuan yang adil akan menjaga terhadap situasi dimana untuk kepentingan apa pertimbangan konsekuensi yang menguntungkan akan diperbolehkan untuk membenarkan tindakan ilegal atau tidak etis dalam mencapai tujuan.
3. Virtue Ethics (Etika Kebajikan)
Kalau kedua pendekatan tadi menekankan pada konsekuensi dari tindakan atau tanggung jawab, hak dan prinsip-prinsip sebagai panduan untuk membenarkan kebiasaan moral, etika kebajikan berkaitan dengan aspek motivasi dari karakter moral yang ditunjukkan oleh pengambil keputusan. Kebajikan adalah karakter yang membuat orang bertindak etis dan membuat orang tersebut menjadi manusia yang bermoral. Menurut AACSB etika kebajikan berfokus pada karakter atau integrasi moral para pelaku dan melihat pada moral masyarakat, seperti masyarakat profesional, untuk membantu mengidentifikasi isu-isu etis dan panduan tindakan etis.





F. Aturan Praktis untuk Pengambilan Keputusan Etis
1. Etika Intuisi : melakukan menurut “firasat”.
2. Imperatif Kategoris : jangan mengadopsi prinsip – prinsip tindakan.
3. Etika Profesi : melakukan dengan bisa menjelaskan di depan komite dari rekanoreka profesional (berdasarkan etika keperawatan).
4. Prinsip Utilitarian : melakukan yang terbaik untuk jumlah terbesar.
5. Prinsip Kebijakan : melakukan apa yang menunjukkan kebijakan yang diharapkan.

G. Kepentingan Dasar Para Pemangku Kepentingan
Pemangku kepentingan merupakan aktor-aktor kunci dalam pengembangan
komunitas. Mereka dapat terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan
pemangku kepentingan tersebut akan membawa dampak bagi keberlangsungan komunitas (Race dan Millar, 2006).
Pemangku kepentingan yang terlibat juga akan merasakan dampak
dan manfaat yang timbul (Gonsalves et al, 2005).
Setiap pemangku kepentingan mempunyai berbagai kemungkinan dapat melalukan disfungsi peran. Disfungsi peran tersebut tentunya akan membawa dampak negatif bagi keberlanjutan komunitas yang terbentuk. Hal tersebut dikarenakan, pemangku kepentingan yang berkecimpung secara langsung dalam upaya pembentukan dan pengembangan komunitas tidak melakukan peran yang semestinya. Pemangku kepentingan dapat berupa organisasi, komunitas, kelompok sosial ekonomi,
pemerintah, atau lembaga yang berasal dari berbagai dimensi pada setiap tingkat golongan masyarakat. Setiap subyek tersebut mempunyai potensi, sumberdaya dan
kebutuhan masing-masing. Keterlibatannya dalam pelaksanaan suatu aktivitas (baik terkait pembangunan maupun tidak) disesuaikan dengan kapasitas yang dimiliki. Penting untuk diingat bahwa kebutuhan masing-masing pemangku kepentingan harus terwakili dalam proses pengambilan keputusan. Hal tersebut dikarenakan akan mempengaruhi tingkat kepuasan dari setiap pemangku kepentingan terhadap hasil kegiatan yang sedang
dilaksanakan. Pemangku kepentingan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Kelompok tersebut adalah pemangku kepentingan utama, penunjang, dan kunci Pemangku kepentingan utama merupakan pemangku kepentingan yang menerima dampak positif dan negatif dari suatu kegiatan. Pemangku kepentingan penunjang merupakan perantara yang membantu proses penyampaian kegiatan. Pemangku kepentingan kunci yakni yang mempunyai pengaruh kuat atau penting terkait dengan masalah, kebutuhan, dan perhatian terhadap kelancaran kegiatan. Pendapat lain mengatakan bahwa, pemangku kepentingan dapat dibagi menjadi pemangku kepentingan seKtor swasta, sektor publik dan masyarakat sipil (Start dan Hovland, 2010). Berdasarkan
pengertian mengenai pemangku kepentingan tersebut, maka dua klasifikasi pemangku
kepentingan tersebut sama saja, yaitu pemangku kepentingan utama sama dengan masyarakat sipil, sektor swasta sama dengan penunjang, dan sektor publik sama dengan
pemangku kepentingan kunci.

H. Analisis Dampak Pengaku Kepentingan
Dalam pendekatan tradisional pengambilan keputusan :
1. Pendekatan Pertanyaan Tradisional
Keputusan yang diusulkan ditantang dengan mengajukan semua pertanyaan. Jika respon negatif timbul (atau lebih dari satu) ketika semua lima pertanyaan diajukan/dipertanyakan,  maka pengambil/pembuat keputusan dapat mencoba untuk merevisi tindakan yang diusulkan untuk menghapus dan/atau mengimbangi jawaban negatif itu. Apabila proses revisi berhasil, maka usulan menjadi etis. Jika tidak,  proposal harus ditinggalkan karena tidak etis. Bahkan, jika tidak ada tanggapan negatif ketika pertanyaan ditanyakan diawal, sebuah upaya harus dilakukan untuk memperbaiki tindakan yang diusulkan menggunakan lima pertanyaan sebagai panduan. Urutan mengajukan pertanyaan tidak penting, tapi semua dari empat pertanyaan pertama harus ditayangkan untuk memastikan bahwa pengambil
keputusan tidak mengabaikan dampak dari bidang yang penting. Beberapa permasalahan etika tidak rentan terhadap pemeriksaan dengan 5
pertanyaan jika dibandingkan dengan pendekatan lain yang diuraikan dalam bagian berikutnya.



2. Pendekatan Standar Moral
Pendekatan standar moral untuk analisis dampak stakeholder yang dibangun langsung pada kepentingan mendasar dari stakeholder. Hal ini agak lebih umum dalam fokus dari pendekatan 5-pertanyaan, dan memimpin pengambil keputusan untuk analisis yang lebih luas berdasarkan keuntungan bersih bukan hanya profitabilitas         sebagai tantangan pertama dari keputusan yang diusulkan. Akibatnya, ia menawarkan sebuah kerangka yang lebih cocok untuk pertimbangan keputusan yang memiliki dampak signifikan di luar korporasi dari kerangka kerja 4-pertanyaan. Pertanyaan berfokus pada keadilan distributif, atau keadilan, ditangani dengan cara yang sama seperti dalam pendekatan 5-pertanyaan.

3. Pendekatan Pastin
Pastin menggunakan konsep etika aturan dasar untuk apture gagasan bahwa individu dan organisasi memiliki aturan-aturan dasar atau nilai-nilai fundamental yang mengatur perilaku mereka atau perilaku yang diinginkan. Jika keputusan dipandang menyinggung nilai-nilai ini, ada kemungkinan bahwa di senchamtment atau relatiation akan terjadi. Sayangnya, hal ini dapat menyebabkan pemecatan seorang karyawan yang bertindak tanpa pemahaman aturan dasar etika baik dari organisasi pengusaha yang terlibat. Dalam rangka untuk memahami aturan dasar yang berlaku untuk benar mengukur komitmen organisasi untuk proposal dan untuk melindungi pembuat keputusan. Pastin menunjukkan bahwa pemeriksaan keputusan masa lalu atau tindakan dibuat. Ia menyebut ini pendekatan reverse engineering keputusan, karena upaya ini dilakukan untuk mengambil keputusan masa lalu terpisah untuk melihat bagaimana dan mengapa mereka dibuat. Pastin menggunakan konsep etika aturan dasar untuk apture gagasan bahwa individu dan organisasi memiliki aturan-aturan dasar atau nilai-nilai fundamental yang mengatur perilaku mereka atau perilaku yang diinginkan. Jika keputusan dipandang menyinggung nilai-nilai ini, ada kemungkinan bahwa di senchamtment atau relatiation akan terjadi.



I. Langkah-Langkah Menuju Sebuah Keputusan Etis
1. Menentukan fakta-fakta
2. Mengidentifikasi para pemegang kepentingan dan mempertimbangkan situasi-situasi dari sudut pandang mereka
3. Mempertimbangkan alternatif-alternatif yang tersedia juga disebut dengan “imajinasi moral”
4. Mempertimbangkan bagaimana sebuah keputusan dapat memengaruhi para pemegang kepentingan, membandingkan dan mempertimbangkan alternatif-alternatif berdasarkan :
a. Konsekuensi-konsekuensi
b. Kewajiban-kewajiban, hak-hak, prinsip-prinsip
c. Dampak bagi integritas dan karakter pribadi
5. Membuat sebuah keputusan
6. Memantau hasil

















BAB II
PENUTUP


A. Kesimpulan

Good governance dapat diartikan sebagai kepemerintahan yang baik atau penyelenggaraan pemerintahaan yang bersih dan efektif, sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku. Pemerintahan mencakup ruang lingkup yang luas, termasuk bidang politik, ekonomi dan sosial mulai dari proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan hingga pelaksanaan dan pengawasan. Jadi Good Corporate Governance pada dasarnya merupakan suatu sistem (input, proses, output) dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang kepentingan (stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan.
B. Saran
Untuk mengatasi kejahatan bisnis/ekonomi yang terjadi seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang telah melahirkan revolusi industri perdagangan, perbankan dan khusunya korporasi, dalam skala global, sebaiknya semua Negara memperkuat komitmen politiknya untuk lebih memartabatkan kegiatan ekonomi dan bisnis. Dengan begitu, kemakmuran dan kesejahteraan dapat terwujud. Selain itu perlu juga diperkuat komitmen moralnya untuk tetap konsisten menjalankan sebuah misi penting,  yaitu mewujudkan keadilan, kebenaran, kejujuran, penegak hukum, penegak etika dan peningkatan ras kompetensi secara fair rasional dan berkemanusiaan.







DAFTAR PUSTAKA

https://syar1fudin.wordpress.com/2011/11/02/peranan-etika-bisnis-dalam-penerapan-good-corporat-governance/

https://id.wikipedia.org/wiki/Pemangku_kepentingan



0 comments:

Post a Comment